Jumat, 05 Juni 2009

1 komentar


PROFIL SMA NEGERI 1 PORONG

SMA Negeri 1 Porong sebuah lembaga pendidikan menengah yang terdapat di pusat kecamatan Porong tepatnya di Jalan Bhayangkari 12 Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo. Dengan jumlah siswa seluruhnya 741 siswa, sekolah yang dipimpin Bpk. Drs. Abdul Madjid, M.Pd memiliki banyak prestasi akademik dan non akademik yang telah diraihnya. SMA Negeri 1 Porong didirikan tahun 1986 dan sekarang memiliki jumlah guru 64 guru mempunyai beberapa fasilitas penunjang pendidikan seperti laboratorium IPA, laboratorium Komputer, dan Perpustakaan. Sedangkan ekstra kurikuler yang diminati para siswa untuk pengembangan diri dan skill siswa adalah Bola Basket, Palang Merah Remaja, Seni Baca Tulis Al-Qur’an, Seni Tari Tradisional, Karya Ilmiah Remaja, Pramuka, Paskibra, Bela Diri, Teater/Puisi, Futsal dan Volly Ball
VISI DAN MISI
SMA NEGERI 1 PORONG


V I S I
UNGGUL DALAM PRESTASI BERDASARKAN IMAN DAN TAQWA
Indikator :
1. Meningkatnya perolehan nilai Ujian Nasional
2. Bertambahnya jumlah siswa yang diterima di perguruan tinggi melalui PMDK dan SNMPTN
3. Menjuarai lomba akademik maupun non-akademik
4. Mampu berbahasa Inggris dengan lancar dan benar
5. Menguasai penerapan komputer
6. Bersikap bijaksana
7. Berkata jujur dan sopan
8. Mengamalkan ajaran agama dengan baik
9. Berakhlaq mulia
10. Bersikap gotong royong
11. Bersikap rendah hati
12. Disiplin dan menjunjung ketertiban
M I S I
1. Mengembangkan dan melaksanakan pembelajaran dan bimbingan secara efektif dengan mengoptimalkan potensi dan kemampuan siswa
2. Menumbuhkembangkan semangat kompetitif
3. Mengembangkan sikap gotong-royong, rendah hati yang dilandasi iman dan taqwa
4. Memberdayakan sumber daya manusia ( SDM ) yang ada secara optimal
5. Memupuk tali persaudaraan dan kerja sama dengan masyarakat


Selengkapnya...

0 komentar



Pada kesempatan ini, SMAN 1 Porong mengikuti lomba desain blog di ITN Malang baca lenkap>> Selengkapnya...

Makna Hari Pendidikan Nasional

0 komentar

Tanggal 2 Mei tepatnya adalah hari Pendidikan Nasional. Hari dimana lahirnya pendidikan di Indonensia.
Tanggal 2 Mei dijadikan sebagai hari Pendidikan Nasonal bertepatan dengan hari lahirnya salah satu
tokoh pendidkan kita yaitu Ki Hajar Dewantara dengan nama asli: Raden Mas Soewardi. Mengulas
sedikit tentang perjuangan untuk memajukan pendidikan di bumi Indonesia, beliau sempat mendirikan
salah satu taman siswa pada 3 Juli 1922 untuk sekolah kerakyatan di Yogyakarta. Kemudian beliau juga
sempat menulis berbagai artikel yang intinya memprotes berbagai kebijakan para penjajah (Belanda)
yang kadang membunuh serta menghambat tumbuh dan berkembangnya pendidikan di Indonesia.
Bertolak dari usaha, kerja keras serta pengorbanan dirinya melalui surat keputusan Presiden RI No. 305
Tahun 1959, tanggal 28 November 1959 dinobatkan sebagai salah satu Pahlawan Pergerakan Nasional.
Bahkan yang lebih menggembirakan dirinya di anggap sebagai Bapak Pendidikan untuk seluruh orang
Indonesia, penghormatan itu terbukti dengan ditetapkan 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Untuk mewujudkan dan membangun dunia pendidikan di Indonesia yang sedang diusahaknnya dalam
penjajahan para penjajah Belanda beliau memakai semoboyan “Tut Wuri Handayani” semboyan ini
berasal dari ungkapan aslinya "Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa”. Semboyan ini masih
dipakai dalam dunia pendidikan kita hingga era reformasi ini. Bahkan dengan semboyan itu telah sedikit
mengubah warna pendidikan kita di Indonesia saat ini.
Hari ini Pendidikan Nasional Tanggal 2 Mei 2009 mempunyai arti penting dalam kancah pendidikan
nasional Indonesia. Memasuki abad 21 ini, pendidikan mempunyai arah tujuan yang jelas, yaitu
memartabatkan manusia Indonesia di kancah internasional. Begitu juga baru saja bagi siswa-siswa SMA
/ MA, SMK, SMP/MTs dan di susul siswa SD/MI melaksanakan ujian nasional serta UASBN.
Namun begitu, pendidikan di negeri ini belum beranjak melaju pesat menuju mutu yang memuaskan. Bila
mau menengok ke belakang, ketika kemarin usai melaksanakan Ujian Nasional pada pelajaran
matematika bagi siswa SMA/MA/SMK, raut wajah mereka banyak mengalami kekhawatiran akan hasil
yang di capai dalam ujian tersebut. Harus seperti apakah yang bisa dilaksanakan oleh instuisi pendidikan
kita? Apakah ini merupakan proses belajar yang salah ataukah kurang bergairahnya para siswa dalam
mengikuti proses pendidikan setiap hari sehingga dikatakan gagal dalam pendidikan ?
Kembali lagi tentang hari Pendidikan Nasional, bahwa permasalahan lemahnya semangat para siswa
harus disikapi secara serius oleh semua pihak baik para orang tua siswa, para teknisi pendidikan dan
pemerintah. Ada baiknya duduk dalam satu meja untuk mencari solusi yang tepat dalam memajukan
pendidikan nasional. Apabila di ajak secara langsung membahas tentang hal itu, lebih baik dan masingmasing
mempunyai rasa tanggung jawab untuk menjawab tantangan bangsa ini ke depan dalam
membangun pendidikan Indonesia yang lebih maju, bermartabat dan setara dengan bangsa lain dalam
ilmu pengetahuan
" Selamat Hari Pendidikan”
Bertekad Untuk Memajukan Bangsa Indonesia Melalui Jalur Pendidikan "

Selengkapnya...

Pendidikan Kita Hari Ini

0 komentar

“Krisis Pendidikan!”,kata sebagian orang. “Pendidikan kita amburadul!”,kata yang lain. Para praktisi pendidikan sibuk kutak-katik sistim dan bongkar-pasang kurikulum. Tiba-tiba kembali perploncoan di satu perguruan -konon pencetak calon-calon pemimpin- menelan korban jiwa.

Dan ini bukan yang pertama kali terjadi di negeri kita. Keributan dan salah-menyalahkan pun berulang. Sebagian orang mengira solusinya adalah Ganti Menteri. Kemudian para pedagang pun bersiap-siap mengantisipasi rejeki. Itulah dunia pendidikan kita.

Gambaran di atas hanyalah apa yang tampak di permukaan. Tetapi bukan persoalan yang sesungguhnya. Persoalan sesungguhnya dan masalah terbesar di dalam pendidikan kita justru bermula dari cara pandang dan pemahaman kita sendiri tentang pendidikan. Yaitu, ketika kita menyamakan pendidikan dengan masa belajar, ketika kita membatasi pendidikan hanya dengan kecerdasan, ketika kita merumuskan pendidikan dengan kebutuhan pasar, dan ketika kita mengaitkan pendidikan dengan pembangunan.

Sesungguhnya itulah sumber kesalahannya, dan itulah ideologi pendidikan yang kita anut selama ini. Maka -disadari atau tidak- jadilah pendidikan tak lebih dari sebuah komoditi pencetak robot-robot bengis yang melayani kepentingan ideologi-ideologi sekuler.
Sesungguhnya sebelum sampai kepada taraf “Pendidikan Untuk Mencerdaskan Bangsa” -sebagaimana sering kita baca dan dengar dari slogan- , pendidikan haruslah memiliki misi:

1. Pendidikan Amanah.
“Sesungguhnya, telah Kami kemukakan amanat kepada langit, bumi ,dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu, khawatir akan mengkhianatinya. Dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (QS. Al Ahzab: 72)

Melalui ayat di atas, tampaklah bahwa Amanah -berupa ketaatan dan kejujuran- adalah sesuatu yang Allah Subhaanahu wa ta’ala bebankan kepada manusia. Namun manusia menganggapnya sebagai suatu perkara yang sepele. Oleh karena itu Allah Subhaanahu wa ta’ala mencap manusia -karena sifatnya itu- dzalim dan bodoh.
Sesungguhnya Amanah dan sifat-sifat yang menyertainya, seperti jujur, menepati janji, dan tidak khianat merupakan dasar dari segala bentuk tanggungjawab pada setiap pribadi -sebagai apapun dia-.

Oleh karena itu, segala upaya dan sarana yang dapat menumbuhkan sifat amanah harus diciptakan. Pendidikan sejak dini harus diarahkan untuk menumbuhkan sifat amanah. Dan segala sarana yang dapat menghantarkan kepada sifat-sifat bohong, khianat, dan mungkir harus dihilangkan dari segala media pendidikan.

Tentu kita semua telah melihat bagaimana jadinya kecerdasan tanpa dilandasi sifat amanah. Sia-sialah jika kita masih mengira bahwa dongeng dan sandiwara dapat menjadi inspirasi dan motivator untuk menumbuhkan sifat jujur. Sebab, kemuliaan tak mungkin diwujudkan dari kehinaan. Kejujuran tak mungkin dibangun dari kedustaan serta kepalsuan, dan Al Haq tidaklah membutuhkan topangan dari kebathilan.

2. Pendidikan Sopan-Santun dan Lemah-Lembut.
Sopan-santun serta lemah-lembut merupakan sifat-sifat mulia yang dapat menimbulkan rasa tenang dan hangat di dalam pergaulan bermasyarakat. Ini merupakan di antara sifat-sifat yang disukai Allah Subhaanahu wa ta’ala. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah: “Ya, Aisyah. Sesungguhnya Allah Subhaanahu wa ta’ala bersifat Lemah-Lembut, menyukai kelemahlembutan.” (Muttafaqun Alaih)

Di lain waktu Beliau berkata kepada seorang sahabatnya: “Sesungguhnya pada dirimu ada dua sifat yang dicintai Allah Subhaanahu wa ta’ala. Santun dan murah hati.” (HR. Imam Muslim)
Dengan demikian sarana dan metode apa saja yang dapat menumbuhkan sifat mulia ini harus ditempuh. Pendidikan sejak dini harus diarahkan untuk menumbuhkan sifat-sifat sopan-santun dan lemah-lembut. Dan apa saja yang dapat menumbuhkan sifat-sifat sebaliknya, seperti kurang-ajar, tak tahu malu, dan beringas harus dihilangkan dari segala media pendidikan dan pemandangan kita sehari-hari. Tentu kita semua telah melihat bagaimana jadinya kecerdasan tanpa dilandasi sifat sopan-santun dan lemah-lembut.

3. Pendidikan Rajin.
Rajin merupakan satu sifat yang sangat dipuji dalam Islam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam di dalam berbagai ungkapan menjelaskan keutamaan sifat rajin. Di antara lain ucapannya Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah: “Sungguh, seseorang mencari seikat kayu dan memikul sendiri di atas punggungnya lebih baik dari pada ia meminta-minta kepada orang lain, diberi atau ditolak” (Muttafaqun Alaih).
“Tangan di atas lebih baik dari pada tangan yang di bawah…..” (Muttafaqun Alaih)
“Sesungguhnya Daud ‘alaihi sallam makan dari hasil karya tangannya” (HR. Imam Bukhari)

Berbagai ungkapan di atas -dan masih banyak lagi- menunjukkan betapa sifat rajin sangat ditekankan di dalam Islam. Maka hendaknya segala sarana dan metode yang dapat menumbuhkan sifat rajin pada negri ini harus diupayakan. Sebaliknya, segala sarana dan metode yang menumbuhkan sifat malas pada negri ini harus ditiadakan. Segala macam bentuk kamuflase dari kemalasan, mengamen misalnya, juga harus dihilangkan. Sejak dini anak harus dibentuk oleh kurikulum yang memacu sifat rajin. Tentu kita semua tahu, apa jadinya kecerdasan yang dibarengi dengan sifat malas, ..licik.

4. Pendidikan Kuat Dan Sabar.
Islam memuji sifat kuat dan mengaitkannya dengan sabar. Kuat, sabar, atau tabah merupakan modal di dalam mengarungi kehidupan -yang memerlukan perjuangan dan penuh dengan cobaan-. Perhatikan bagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan beberapa kalimat kepada Ibnu Abbas, ketika usianya belum mencapai sepuluh tahun: “….Ketahuilah. Bahwa seandainya seluruh manusia bersatu ingin memberikan manfaat kepadamu, mereka tak akan mampu melakukannya lebih dari yang telah Allah tetapkan bagimu. Dan seandainya mereka bersatu ingin mencelakakanmu, mereka tak akan mampu melakukannya lebih dari yang telah Allah tetapkan atasmu….” (HR. At-Tirmidzi dari Ibnu Abbas)
“…Ketahuilah. Bahwa pertolongan Allah datang melalui kesabaran, bersama perjuangan ada pengorbanan, dan bersama kesulitan ada kemudahan…”

Apa yang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan kepada Ibnu Abbas menunjukkan bahwa perkara kuat dan sabar sudah harus mulai diajarkan maknanya dan ditanamkan kepada anak sedini mungkin.
Maka, sarana dan metode apa saja yang dapat melahirkan serta menumbuhkan kepribadian yang kuat dan sabar harus diciptakan.

Sebaliknya, segala sarana dan metode yang akan membentuk keperibadian cengeng, lemah, mudah patah semangat, mudah marah, dan mudah putus asa harus dihilangkan dari media pendidikan kita. Jangan biarkan negri ini mengkonsumsi hal-hal yang melemahkan jiwanya, berupa lagu-lagu cengeng dan film-film picisan. Sama dapat kita bayangkan, mungkinkah ada kecerdasan tanpa dibarengi kuat dan sabar?

Dengan pilar-pilar Amanah, Santun, Rajin, dan Kuat inilah kita meraih Kecerdasan. Kecerdasan yang bertanggung jawab, manusiawi, disyukuri, dan tahan uji. Maka salah besar jika keempat misi dasar pendidikan di atas hanya dibebankan kepada lembaga-lembaga pendidikan regular -sekolah atau pondok pesantren-, karena lembaga-lembaga ini terlalu kecil, terlalu singkat, dan terlalu lemah untuk menghadapi dunia. Media Massa, pasar, lingkungan hidup, bahkan seluruh lembaga Ipoleksosbud (Ilmu Pengetahuan, Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya) adalah sarana sekaligus media yang bertanggung jawab terhadap pendidikan bangsa.

Apa jadinya sebuah pribadi yang tidak memiliki sifat amanah, tidak santun, malas, dan lemah (cengeng)? Lantas bagaimana pula kalau itu sebuah bangsa? Sungguh, jangan berkhayal walau untuk sekedar tampil semalam di panggung sandiwara. Buat apa masuk pasar kalau hanya jadi barang murahan. Buat apa ikut dalam pembangunan kalau hanya jadi tumbal. Lupakan orientasi pasar, lupakan ideologi pembangunan! Buang jauh-jauh gambaran seolah-olah pendidikan itu hanya gawe sekolahan! Jangan mengkhayal bahwa kecerdasan adalah segala-galanya!

Sungguh, ini adalah sebuah kerja berat dan kita tak boleh berputus asa serta merasa pesimis untuk merubah cara pandang kita dan masyarakat tentang pendidikan. Nabi kita telah mengajarkan kita:
“Bersemangatlah kalian kepada apa-apa yang bermanfaat bagi kalian. Mohonlah pertolongan kepada Allah untuk itu dan jangan pesimis dan merasa lemah” (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah)




Sumber


Selengkapnya...

IDEOLOGI PENDIDIKAN KITA

0 komentar

Diakui atau tidak, dunia pendidikan kita sungguh telah terperangkap ke dalam kemelut yang mungkin belum pernah terbayangkan semula. Kritik sistim dan bongkar-pasang kurikulum -seperti yang ditempuh selama ini- ternyata tak pernah memuaskan. Maka apa salahnya jika kita melirik kepada ideologinya. Mungkin di sana ada jawabnya.

Pendidikan adalah bagian dari rekayasa sosial. Melalui pendidikanlah masyarakat dibentuk dan diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu. Tetapi pendidikan juga merupakan produk masyarakat. Dengan kata lain, ia juga bisa dilihat sebagai sebuah proses sosial. Sebab, bagaimanapun sistim atau modelnya, pendidikan tak mungkin terbebas dari pengaruh kesadaran dunia, cita-rasa, dan selera tertentu. Bahkan sangat boleh jadi ia dibentuk di bawah tekanan belenggu-belenggu struktural yang sedang berlaku.

Di dalam kritik ideologi (bukan kritik sistim) kita tak akan bertanya, misalnya; berapa sekolah telah dibangun, berapa sarjana telah dihasilkan, serta bagaimana kualitasnya atau bagaimana meningkatkan semangat belajar pada siswa. Kritik ideologi berbicara tentang sejarah, aspek psiko-sosiologis, bentuk dan isi pendidikan, serta hubungannya dengan tingkah laku masyarakat.

Feodalisme, masyarakat agraris, pengalaman dijajah 350 tahun, dan situasi dunia internasional merupakan di antara faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk dan ideologi pendidikan bangsa Indonesia. Tentu saja kita pun tak boleh lupa, bahwa “Politik Ada Maunya” merupakan pelajaran pertama yang kita warisi dari penjajahan Belanda.

Pribumi -ketika itu- dididik dan dicetak menjadi administrateur, tidak lain untuk dijadikan kaki-tangan politik kolonialis-imperialis mereka. Karena nya, wajar kalau kemudian setelah merdeka, kursi para pengambil keputusan didominasi mereka yang berselera dan bercita-rasa “indo”. Sebab hanya merekalah yang siap. Meski mereka adalah nasionalis-nasionalis sejati dan telah berjasa bagi republik ini, namun tak bisa dipungkiri bahwa -secara tak langsung- lewat sebagian dari mereka pulalah pengkultusan terhadap “barat” mulai ditanamkan. Dan yang demikian terjadi hampir di setiap bekas negara jajahan. Dendam terhadap penjajah secara menakjubkan berubah menjadi rasa “berterimakasih”. Kemudian mulailah “barat” menjadi acuan segala nilai kebajikan. Menjadi tolok ukur kesejahteraan, demokrasi, toleransi, atau apa saja. Di dalam suasana kejiwaan semacam inilah bangsa kita tumbuh dan dibesarkan

Di awal masa kemerdekaan kita tak punya pilihan selain meneruskan target-target lama. Tentu saja kali ini di dalam semangat nasionalisme. Pendidikan diselenggarakan dalam rangka memenuhi kebutuhan sektor negara. Dan karena hampir seluruh sektor swasta hanya dikuasai keturunan Arab, Cina, dan India, mengabdi sebagai pegawai negeri seakan menjadi manifestasi semangat mengisi kemerdekaan ketika itu.

Tetapi karena belum banyak orang pintar, apalagi karena sebelumnya Belanda hanya mendirikan sekolah tinggi untuk hukum, teknik, dan kedokteran saja, jangan heran kalau ketika itu ada sarjana duduk di kementerian mengurus masalah di luar disiplin ilmu yang ia kuasai. Begitu juga di dunia pendidikan, tak sedikit yang mengajar bahkan diangkat menjadi guru besar di bidang spesialis yang mereka bukan ahlinya. Tentu ini berakibat tidak saja kepada mutu, tetapi juga kepada paradigma ilmunya.

Lahirnya jaringan kerja-sama antara perguruan tinggi nasional dengan universitas-universitas seperti Cornell University, UCLA, atau Massachusetss Institute of Technology di tahun 50-an ikut mewarnai perkembangan ilmu dan pendidikan kita. Indonesia pernah menjalin hubungan “Bapak-Anak Angkat” dengan Cornell University. Program ini secara tak langsung mempengaruhi bentuk kurikulum perguruan tinggi kita ketika itu dalam hal: apa yang harus dan apa yang tak perlu dipelajari, obyek penelitian, serta metodenya. Kalau Marshall Plan “membantu” kita supaya bisa jadi partner dagang, maka program -yang popular dengan sebutan Formington Scheme ini- “membantu” kita agar bisa jadi sparing partner berpikir. Ini merupakan pelajaran selanjutnya bagi bangsa kita tentang “Politik Ada Maunya”.

Situasi politik awal tahun 60-an merubah arah perkembangan keilmuan dan pendidikan kita ketika itu. Kerja sama dengan universitas-universitas Amerika terputus. Ilmu-ilmu sosial berparadigma sosialis mulai tampil. Buku pelajaran sejarah juga ikut disesuaikan dengan haluan politik saat itu. Menjadi orang kaya ketika itu identik dengan kapitalis. Meski telah berjasa menciptakan lapangan kerja, wiraswastawan yang sukses mudah dicurigai telah berkolaborasi dengan imperialis, atau dituduh sebagai antek-anteknya. Akhirnya tak sedikit orang menempuh “jalur partai berkuasa” sekedar demi mempertahankan hidup.

Ketika Orde Baru berkuasa, keadaan berbalik. Pulangnya para sarjana kita dari studinya di Barat menambah barisan orang pintar. Para pendekar yang baru turun gunung itu mengoleh-olehi kita ilmu dan teori-teori sosial yang lagi “ngetren”, Modernism-nya Mc Clelland misalnya. Kita juga diperkenalkan dengan macam-macam isme pembangunan. Dan kita menjadi tak lagi canggung bergaul dengan mazhab-mazhab yang dominan di Berkeley, Sorbone, atau tempat-tempat lainnya, yang sedikit banyak juga bicara pendidikan.

Meski tidak semua agennya dari bangsa kita itu langsung berselera Amerika atau Prancis, tetapi kesan keberpihakan kepada logika-logika liberalis -baik dalam teori-teori yang diajarkan di sekolah-sekolah maupun dalam praktek sosialnya yang berwujud kebijakan-kebijakan pemerintah- sangat terasa. Ditandai dengan banyaknya orang pintar memainkan peran ganda, sebagai teoritisi yang mengajar di perguruan-perguruan tinggi sekaligus sebagi teknokrat.

Keadaan ini menguntungkan pemerintah, tetapi tidak bagi perkembangan ilmu. Yang diajarkan di perguruan tinggi tak lebih dari teori-teori yang membenarkan kebijakan pemerintah. Meski demikian, ada pula baiknya, karena hal itu telah menghidupkan banyak pihak. Dan entah, apakah ini juga termasuk pelajaran tentang “Politik Ada Maunya”?

Agaknya zaman ketika itu pun berpihak untuk memenangkan isme yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Dan ini sangat sesuai dengan kepentingan negara-negara kapitalis. Modal asing masuk, MNC-MNC (Multi National Corporation) hadir, kemudian industri-industri swasta pun tumbuh. Artinya, terbuka lagi lapangan kerja baru. Tetapi ternyata ini hanya menolong sesaat dan bagi sebagian orang saja. Sebabnya jelas. Industri-industri tersebut sudah tentu tidak dimaksudkan untuk jadi “panti asuhan”. Dan memaksakan konsep Padat Karya menurut logika bisnis mereka sama saja dengan bunuh diri.

Ketika ternyata pengangguran tidak berkurang, orang masih percaya bahwa kesalahan terletak pada skill, atau mental -kata sebagian lain. Solusinya, pendidikan kewiraswastaan masuk kurikulum, fakultas-fakultas politeknik dibuka, serta BLK-BLK didirikan dan perusahaan-perusahaan swasta dihimbau untuk membuka kesempatan magang. Hasilnya? Lahirlah istilah “Tenaga Siap pakai”. Setiap orang bangga dengan status ini. Sekolah-sekolah menjadikannya tema promosi dan perusahaan-perusahaan pun berjanji membelinya.

Maka ketika industri tercanggih yang kita miliki, seperti IPTN -yang tidak semua orang Indonesia pantas direkrut kecuali putra terbaiknya saja-, ternyata harus juga mengurangi karyawannya, kita pun terperangah. Ternyata kita memiliki begitu banyak orang pintar lagi siap pakai sampai-sampai sulit menampungnya dan terpaksa tidak dipakai. Boleh jadi ada yang bertanya; kenapa surplus orang pintar dan siap pakai itu tidak dimanfaatkan untuk membuat cabang-cabang IPTN, walau sekedar untuk memproduksi layang-layang? Lantas apa artinya “Tenaga Siap pakai”? Kenapa ternyata mereka tidak siap untuk tidak dipakai? Kenapa tak kita didik saja mereka sejak awal untuk menjadi “Tenaga Siap Tak Terpakai”? Dengan kata lain, kenapa bukan istilah “Tenaga Siap Cipta” -misalnya- yang kita masyarakatkan?

Di dalam “cipta” ada makna kemandirian dan kemampuan. Sedang di dalam “pakai” ada makna ketergantungan dan ketidakberdayaan. Tergantung dan tak berdaya di dalam memilih dan menentukan, seakan tak punya pilihan, serta dipaksa untuk menerima apa yang disodorkan. Manusia menjadi tak lebih dari sekedar operator bagi sebuah teknologi, bahkan untuk sebuah ideologi. Lantas, siapa yang diuntungkan dengan istilah itu? Mudah diduga, untuk kepentingan siapa sebenarnya istilah itu dimunculkan. Tentu itu bukan sekedar bahasa teknologi, apalagi psikologi. Itu bahasa ideologi!

Akhirnya, orientasi “Lapangan Kerja Selepas Sekolah” semakin mendominasi pertimbangan memilih bidang studi. Terlihat sekali ketika industri perbankan tumbuh menjamur, sekolah-sekolah manajemen keuangan dan yang sejenisnya pun langsung surplus peminat. Gayung pun bersambut, karena “Politik Ada Maunya” semua orang pun ramai-ramai bikin sekolahnya. Mencetak orang untuk dijadikan administrateur para konglomerat. Kalau kemudian para alumninya berwiraswasta di bidang lain, itu terpaksa, karena ternyata penawaran lebih besar dari permintaan. Herannya, kita tak pernah berhenti percaya kepada janji-janji yang telah berulang kali memperdayakan, tak pernah berhenti berharap kepada teori-teori yang telah berulang kali mengecewakan.

Jelas ini masalah ideologi, jika pola-pola kebijakan pendidikan sepanjang sejarah ternyata tak pernah bersih dari “Politik Ada Maunya”. Selalu saja ada “vested interest”. Selalu saja berbau eksploitasi dari yang kuat terhadap yang lemah,yang kaya terhadap yang miskin, yang pintar terhadap yang bodoh, dan yang merdeka terhadap yang tak punya pilihan.

Akhirnya kita dipaksa mengerti mengapa misalnya, sekolah melarang murid membeli buku kecuali yang telah disediakan. Mengapa guru-guru ikut mengatur pengadaan seragam murid. Mengapa di kota besar murid diperebutkan sementara di desa mereka yang wajib belajar sulit menemukan sekolah.

Lebih dari itu, “Politik Ada Maunya” menimbulkan dampak psikologis sekaligus sosiologis bagi kita. Budaya curiga dan buruk sangka merupakan dampak psikologisnya. Kita curiga kalau ada siswa akrab dengan dosennya, curiga kalau mendengar ada rencana perubahan kurikulum. Kita menjadi tak percaya pada keluhuran budi serta cenderung mencemoohkan sebagian orang -yang masih tulus- dengan tuduhan dan anggapan-anggapan yang menghinakan. Dampak sosiologisnya, lahirnya berbagai bentuk kolusi dan nepotisme di dalam sistim sosial kita. Mekanisme pertahanan diri -untuk bertahan hidup- pun memaksa kita beradaptasi dengan situasi ini. Symbiosis mutualistis!!! Semua berusaha mengambil keuntungan di dalam posisinya sebagai apa pun atau siapa pun. Tak perlu ada yang merasa dirugikan atau ditipu. Yang ada hanya kepura-puraan. Pura-pura mengerti sekaligus pura-pura tidak mengerti!!!

Nah, kritik ideologi - yang saya maksudkan di atas- itu bukan mempertanyakan ideologi dalam artian normatif. Dan jawabannya bukan pada deklarasi-deklarasi resmi, motto, atau retorika pejabat pemerintah. Tetapi di dalam rangkaian fakta; pengangguran terpelajar, ijazah AsPal, orientasi lapangan kerja selepas sekolah, minimnya guru dan sekolah di pedesaan (-sedangkan di perkotaan murid diperebutkan, sekolah mewah bertebaran, dan guru bejibun-), lembaga pendidikan bermasalah, komersialisasi, bentuk ketergantungan yang semakin kuat justru setelah melalui proses pendidikan, serta konsep-konsep -obyektif, ilmiah, netral atau rasional, bahkan indikator kesejahteraan, kemajuan, dan keterbelakangan- yang melulu mengacu pada tolak ukur Barat.

Kita tidak pernah membuang keyakinan “pendidikan merupakan proses moderenisasi, segala yang tidak sejalan dengan moderenisasi bukanlah pendidikan”. Itulah soalnya, itulah akar masalahnya. Ini andil sejarah!!! Kemudian pendidikan menjadi “gengsi”, karena menyandang sekaligus menghasilkan atribut-atribut moderenisme. Karenanya, tenaga, uang, dan waktu harus dikerahkan ke sana. Otomatis pendidikan menjadi komoditi. Sehingga kebijakan apapun yang ditempuh, “Politik Ada Maunya” pasti ikut berpartisipasi. Meletakkan akar masalah ini selalu dalam posisi di luar pembicaraan -sebagaimana yang terjadi selama ini- justru memperkuat dugaan bahwa itulah ideologi pendidikan yang kita anut selama ini. Atau, mungkin ada yang masih mau coba-coba mengatakan: ini bukan masalah ideologi?




Sumber


Selengkapnya...

Mutu Pendidikan Malaysia Berlari, Indonesia Tiduran

0 komentar

Ketika Indonesia masih berkutat pada upaya pemerataan pendidikan lewat pembangunan SD-SD Inpres, Malaysia sudah berbicara pada tataran peningkatan kualitas pendidikan. Ketika Indonesia masih disibukkan perdebatan soal "ganti menteri ganti kurikulum", Malaysia sudah menggagas apa yang mereka sebut pendemokrasian pendidikan.

Lalu, ketika tokoh dan birokrat pendidikan di Indonesia sibuk berdebat tentang apa dan bagaimana sesungguhnya sistem pendidikan nasional; belakangan tentang wacana seputar pendanaan pendidikan minimal 20 persen dari APBN/APBD. Sedang Malaysia sudah bicara tentang bagaimana strategi mewujudkan suatu sistem pendidikan bertaraf Internasional.

Dan itu tidak main-main. Keinginan untuk go international langsung dituangkan dalam rumusan misi utama Kementerian Pendidikan Malaysia, yang berbunyi, "Mewujudkan sistem pendidikan bertaraf dunia bagi merealisasikan potensi sepenuhnya setiap individu, di samping memenuhi aspirasi masyarakat Malaysia."

Pada saat bersamaan, untuk memupuk semangat kebersamaan dan perpaduan kaum di antara anak negeri, lembaga pendidikan dirancang sebagai tiang penyangga utama. Melalui konsep yang dinamakan "Sekolah Wawasan" dengan tradisi mendidik lewat pendekatan "meluntur buluh biarlah dari rebungnya", konflik perkauman yang cenderung berlarut-larut di banyak negara diharapkan tidak merembes ke wilayah negeri ini.

Proyek perintisan "Sekolah Wawasan" ini dimulai sejak tahun 2001, sebagai kelanjutan "Program Integrasi Sekolah" yang coba diperkenalkan tahun 1986, dengan memberi peluang anak-anak dari berbagai etnis dan golongan bercampur-gaul satu sama lain melalui berbagai aktivitas dan program di luar ruang belajar. Untuk mewujudkan proyek tersebut, pada tahap awal, Pemerintah Kerajaan Malaysia menyediakan anggaran RM 46,2 juta (Ringgit Malaysia; 1 RM setara 2.650 rupiah). Pada tahun kedua, anggaran itu dinaikkan hampir dua kali lipat menjadi RM 76,7 juta.

Di atas segala-galanya, seperti pernah dikemukakan mantan Menteri Pendidikan Malaysia YB Tan Sri Dato’ Musa bin Mohamad, "Semua itu tidak akan membawa arti apa-apa sekiranya dalam kegairahan memperluas peluang pendidikan itu kita tidak memberi tekanan setimpal pada mutu pendidikan." Di sini, kata kuncinya adalah mutu!

Boleh jadi akan muncul pertanyaan menggelitik: Mengapa Malaysia yang pada era 1970-an masih "berguru" kepada Indonesia dalam hal pendidikan justru kini lebih maju, yang antara lain tampak pada peringkat indeks pembangunan manusia alias Human Development Index (HDI) Malaysia yang sudah melampaui Indonesia?

Di sekolah Malaysia pada umumnya , disiplin menjadi semacam "panglima". Untuk itu, ada buku panduan khusus, ysng disebutnya sebagai tools management. Di dalam buku panduan yang juga disebarkan kepada para orangtua murid itu diatur hingga amat detail tentang hal-hal apa saja yang tidak boleh dilakukan.

Aturan itu berlaku untuk semua. Tak ada pengecualian, bahkan terhadap anak pejabat sekalipun. Dua kali terlambat, misalnya, akan mendapat teguran amat keras hingga di-rotan (dipukul pantatnya dengan rotan). Kendati demikian, si anak tetap diwajibkan mengikuti kegiatan belajar, yakni dengan cara menyimak dan atau mencatat interaksi guru dan murid dari balik jendela di luar ruang kelas tiap kesalahan, masuk dalam daftar catatan.

Selepas menerima hukuman khusus itu, si anak diwajibkan menghadap guru konseling untuk mendapat bimbingan dan penyuluhan. Bila si anak melakukan kesalahan yang masuk kategori berat; seperti menyontek, merokok, atau berkelahi, ancamannya diskors hingga dikeluarkan dari sekolah. Aturan-aturan itu tidak sekadar di atas kertas, tetapi benar-benar dilaksanakan.

Tidak seperti di Indonesia, di sini jarang sekali terdengar aksi protes guru-guru yang berstatus pegawai kerajaan menyangkut aspek kesejahteraan. Ini bisa dipahami. Dengan gaji RM 2 ribu perbulan bagi guru yang baru diangkat yang biasanya masih berstatus lajang. Tentu mereka tak terlalu dipusingkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apalagi guru senior . Di luar jabatan strukturalnya sebagai wakil kepala sekolah, rata-rata guru-guru berpengalaman di Malaysia digaji kerajaan sekitar RM 9 ribu alias sekitar 23 juta rupiah perbulan.

Di luar pendapatan rutin bulanan itu, pihak kerajaan masih memberi sokongan dan berbagai kemudahan bagi guru untuk menaikkan status sosial mereka. Pinjaman pembelian rumah dan kendaraan (baca: mobil), tentu saja dengan bunga yang amat rendah, bisa diperoleh guru setelah mengabdikan diri dalam rentang waktu tertentu kepada kerajaan. Penghargaan masyarakat kepada guru (warga setempat menyebutnya Cekgu) juga cukup tinggi sehingga status sosial guru dalam kehidupan sehari-hari mendapat tempat terhormat.

Iklim yang demikian tentu amat mendukung lahirnya guru-guru yang profesional. Tanpa harus digembar-gemborkan pejabat yang berwenang, sebagaimana sering terdengar di negeri ini, profesionalitas di kalangan guru datang dengan sendirinya setelah kebutuhan dan penghargaan terhadap mereka diberikan pihak kerajaan dan stakeholders pendidikan.

Di Kota Kuching sebagai pusat pemerintahan Negara Bagian Sarawak misalnya, tak terdengar berita ada guru yang telah digaji kerajaan, mengajar di lebih dari satu sekolah. Dengan begitu, perhatian mereka pada tugas dan tanggung jawab sebagai guru menjadi lebih terfokus. Lebih dari itu, kesempatan mereka untuk bisa mengembangkan diri agar memiliki tampilan dan sosok sebagai pendidik sejati terbuka lebar.

Setiap ada perkembangan baru, taruhlah seperti ada kurikulum baru, guru-guru di serawak diantar berkursus. Seluruh biaya untuk aktiviti itu ditanggung oleh kerajaan,

Ujung dari semua itu bisa dipahami bila kualitas pendidikan di negeri ini terus merangkak naik. Seiring dengan itu, kualitas sumber daya manusia di kalangan anak-anak negeri pun dengan sendirinya ikut terdongkrak, yang kemudian berimplikasi pada peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat umumnya. Pergerakan itu tercermin dari peringkat HDI Malaysia yang kini masuk dalam deretan negara-negara berkembang paling progresif, meninggalkan Indonesia!

Pada era 1960-an hingga 1970-an, Pemerintah Malaysia banyak mengirim pelajar-pelajarnya ke lembaga pendidikan bergengsi di luar negeri, seperti Inggris, Australia, dan Amerika Serikat. Umumnya, sepulang dari belajar di luar negeri, mereka inilah yang kemudian menjadi pimpinan di banyak lembaga pemerintahan di negeri ini. Disokong mereka yang menamatkan pendidikan di dalam negeri, termasuk mantan Perdana Menteri Mahatir Mohammad yang menyelesaikan pendidikan di Singapura, bidang pendidikan menjadi perhatian.

Pada saat bersamaan, pada tahun 1970-an itu berdatangan para sukarelawan dari Australia, Inggris, Selandia Baru, dan Amerika Serikat ke kawasan Semenanjung Malaya serta Sabah dan Sarawak. Mereka bergerak di berbagai bidang kehidupan, termasuk di ikut terlibat dalam bidang pendidikan. Secara tidak langsung kehadiran para sukarelawan dari luar negeri ini ikut meningkatkan taraf pendidikan Malaysia.

Bahkan, beberapa di antara para sukarelawan itu ada yang akhirnya tetap tinggal di Malaysia, Namun, sudah diketahui luas, di era 1970-an itu cukup banyak guru-guru dari Indonesia diminta Pemerintah Kerajaan Malaysia untuk mengajar di negeri jiran itu.

Kini, setelah hampir 30 tahun lebih berlalu, Malaysia berhasil menuai buah dari usaha yang mereka tanam. Tantangan pendidikan yang mereka hadapi tidak lagi menyangkut hal-hal mendasar, seperti ambruknya gedung-gedung sekolah dan tingkat kesejahteraan guru, tetapi pada berbagai input lain dari pendidikan sebagai sebuah proses. Taruhlah seperti upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilan tenaga pengajar yang tidak boleh berhenti pada satu titik. Sebaliknya, kemampuan-kemampuan itu tetap dan selalu harus terus diasah, seiring dengan kemajuan pesat yang berkembang di luar ruang kelas.

Berkat konsistensi antara keinginan dan sikap Pemerintah Kerajaan Malaysia akan pentingnya dunia pendidikan bagi kemajuan bangsa, seperti telah mereka buktikan antara lain lewat penyediaan anggaran yang cukup signifikan (hingga 23 persen dari total anggaran negara) untuk bidang ini, institusi pendidikan di negeri ini telah menjadi pusat tolehan bagi berbagai kepentingan.

Banyak orang percaya, keberhasilan Malaysia bangkit begitu cepat dari keterpurukan akibat pengaruh ekonomi global beberapa tahun lalu, salah satunya berkat andil besar dunia pendidikan yang mampu menghasilkan manusia-manusia berkualitas dan mandiri.
Maukah kita belajar dari pengalaman mereka tanpa rasa malu bahwa kita pernah menjadi "Guru" bagi Malaysia? Sebuah Pertanyaan yang harus di jawab kita semua , bangsa Indonesia.


Selengkapnya...

Ke Mana Arah Pendidikan Indonesia?

0 komentar

Oleh Benni Setiawan
Penulis Buku Agenda Pendidikan Nasional

Pendidikan Indonesia sudah kehilangan arah.
Pendidikan di Indonesia dalam bentuk sekolah telah tercerabut dari akar kesejarahan sistem pendidikan nasional. Pendidikan di Indonesia sudah tidak lagi bertumpu pada nilai-nilai dasar pendidikan yang memerdekakan, pendidikan yang menyadarkan dan pendidikan yang memanusiakan manusia muda dan pengangkatan manusia muda ke taraf insani. Pendidikan di Indonesia hanya berorientasi pasar.

Buktinya, pemerintah sekarang sedang menggalakkan pendidikan tingkat satuan pendidikan menengah atas berbasis kerja, yaitu sekolah menengah kejuruan (SMK). Pemerintah berencana akan mengubah pola pendidikan Indonesia dengan perbandingan 70% untuk SMK dan 30% untuk sekolah menengah atas (SMA). Lulusan SMA dalam pandangan pemerintah hanya menghasilkan lulusan tidak siap kerja kalau tidak mau disebut pengangguran. Maka, guna mengurangi angka pengangguran, pemerintah melakukan 'terobosan' dengan menciptakan SMK. Lulusan SMK dalam pandangan pemerintah lebih siap untuk bekerja dan mengurangi pengangguran.

Bukan fase bekerja

Pendidikan di Indonesia hanya dimaknai sebagai salah satu untuk mendapatkan pekerjaan agar tidak menjadi pengangguran (link and match). Padahal, link and match pernah dikritik Soetandyo Wignyosoebroto, Guru Besar Emeritus Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Menurut Pak Tandyo–begitu orang menyapanya–sekolah itu bekal untuk menata hidup yang lebih baik. Bukan fase yang harus dilalui sebelum bekerja. Kalau konsepnya seperti itu, betapa sempitnya dunia pendidikan (Agus Wahyudi: 2006).

Kritikan Pak Tandyo itu cukup beralasan. Pendidikan bukan salah satu fase untuk bekerja. Pendidikan adalah proses hidup. Jadi pendidikan dalam bentuk sekolah bukan untuk bekerja. Maka dari itu, konsep pemerintah membangun SMK secara besar-besaran itu pada dasarnya menunjukkan pemerintah saat ini sudah keblinger. Salah jalur. Tidak tahu filosofi pendidikan.

Lebih dari itu, penyiapan tenaga kerja siap pakai ala SMK juga tidak sesuai dengan iklim Indonesia. Indonesia bukan negara industri yang membutuhkan banyak tenaga kerja siap pakai seperti Jepang. Indonesia masih menjadi negara agraris. Kalau toh kita akan menjadi negara industri, Indonesia sudah tidak lagi mempunyai sumber daya alam sebagai modal. Sumber daya alam Indonesia sudah dikeruk dan dikuras habis oleh korporasi internasional. Masyarakat Indonesia sekarang tinggal menunggu kehancuran bumi Indonesia. Hal itu karena daya isap korporasi tidak akan menyisakan sedikit pun sumber daya alam untuk masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia akan menjadi asing dan miskin di negerinya sendiri.

Tenaga kerja instan

Pembangunan sumber daya manusia melalui SMK dengan mengabaikan filosofi pendidikan hanya akan menghasilkan buruh-buruh yang keringat mereka diperas untuk memuaskan nafsu serakah korporasi internasional. Mereka hanya akan dibayar dengan upah murah. Sewaktu-waktu mereka dapat diberhentikan dengan paksa.

Apakah pemerintah sekarang sempat berpikir seperti itu? Tampaknya, pemerintah tidak memedulikan hal tersebut. Yang ada dalam otak pembuat kebijakan yang keliru itu adalah bagaimana mempersiapkan tenaga kerja instan (siap) kerja dalam waktu cepat sehingga kinerja pemerintahan dapat dinilai dengan nilai A. Pemerintah pun dapat mengklaim telah berhasil mengurangi jumlah pengangguran dan kemiskinan karena anak-anak orang miskin sekarang sudah sekolah di SMK dan siap bekerja dengan kemampuan dan keterampilan mereka.

Pemerintah lebih bangga melihat banyak masyarakat bekerja dengan ketidakberdayaan daripada melihat masyarakatnya mandiri karena mereka memiliki ilmu dan pengalaman yang memerdekakan.

Program pendidikan siap kerja melalui SMK merupakan program prestisius miskin strategi dan makna. Ia tidak ubahnya seperti program penggemukan sapi yang marak akhir-akhir ini di beberapa daerah. Sapi yang semula kecil diberi makan sebanyak mungkin, setelah itu sapi siap jual dengan harga tinggi.

Pemerintah dengan program itu hanya ingin menyombongkan diri dengan data statistik bawah periode pemerintahan kali ini telah berhasil membuat kebijakan yang dibutuhkan masyarakat, yaitu lulus langsung kerja. Padahal sebagaimana kita ketahui, data statistik selalu saja bisa 'diperjualbelikan' sesuai dengan keinginan penguasa.

Ketidakberdayaan pemerintah

Selanjutnya, proyek prestisius SMK juga tidak dibarengi kesiapan dana yang memadai oleh pemerintah. Pemerintah hingga kini belum dapat memenuhi amanat UUD 1945 tentang penyediaan anggaran pendidikan minimal 20%. Anggaran itu baru bisa dipenuhi pada APBN 2009.

Ketidakberdayaan pemerintah menyediakan dana anggaran minimal 20% dalam APBN jelas merugikan masyarakat Indonesia. Orang tua calon peserta didik gusar, karena biaya masuk SMK lebih mahal jika dibandingkan dengan SMA. Seorang orang tua peserta didik harus membayar biaya pangkal Rp2.500.000 untuk masuk SMK di wilayah Jawa Tengah. Biaya tersebut belum termasuk SPP Juli yang sudah harus dibayar sebesar Rp200 ribu. Tentunya hanya orang-orang kaya yang dapat masuk SMK.

Program prestisius itu hanya meninggalkan kedukaan bagi wong cilik (orang miskin). Lebih dari itu, program itu telah meninggalkan filosofi pendidikan yang telah diajarkan para foundhing fathers and mothers.

Bapak dan ibu bangsa telah mengajarkan bahwa pendidikan adalah usaha menyadarkan manusia (YB Mangunwijaya), memerdekakan dengan sistem among (Ki Hajar Dewantara) dan memanusiakan manusia muda dan mengangkat manusia muda ke taraf insani (Driyarkara). Bapak dan ibu bangsa tidak pernah mengajarkan bahwa sekolah adalah fase untuk bekerja. Sekolah atau berpendidikan bukan untuk bekerja. Pendidikan adalah bekal untuk hidup mandiri.

Pada akhirnya, program prestisius SMK sudah saatnya dikoreksi agar tidak kehilangan arah. Ketika tidak ada kemauan dari pemerintah untuk membenahi program itu, patutlah kita pertanyakan, mau ke mana pendidikan Indonesia? Wallahualam.


Selengkapnya...