Diakui atau tidak, dunia pendidikan kita sungguh telah terperangkap ke dalam kemelut yang mungkin belum pernah terbayangkan semula. Kritik sistim dan bongkar-pasang kurikulum -seperti yang ditempuh selama ini- ternyata tak pernah memuaskan. Maka apa salahnya jika kita melirik kepada ideologinya. Mungkin di sana ada jawabnya.
Pendidikan adalah bagian dari rekayasa sosial. Melalui pendidikanlah masyarakat dibentuk dan diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu. Tetapi pendidikan juga merupakan produk masyarakat. Dengan kata lain, ia juga bisa dilihat sebagai sebuah proses sosial. Sebab, bagaimanapun sistim atau modelnya, pendidikan tak mungkin terbebas dari pengaruh kesadaran dunia, cita-rasa, dan selera tertentu. Bahkan sangat boleh jadi ia dibentuk di bawah tekanan belenggu-belenggu struktural yang sedang berlaku.
Di dalam kritik ideologi (bukan kritik sistim) kita tak akan bertanya, misalnya; berapa sekolah telah dibangun, berapa sarjana telah dihasilkan, serta bagaimana kualitasnya atau bagaimana meningkatkan semangat belajar pada siswa. Kritik ideologi berbicara tentang sejarah, aspek psiko-sosiologis, bentuk dan isi pendidikan, serta hubungannya dengan tingkah laku masyarakat.
Feodalisme, masyarakat agraris, pengalaman dijajah 350 tahun, dan situasi dunia internasional merupakan di antara faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk dan ideologi pendidikan bangsa Indonesia. Tentu saja kita pun tak boleh lupa, bahwa “Politik Ada Maunya” merupakan pelajaran pertama yang kita warisi dari penjajahan Belanda.
Pribumi -ketika itu- dididik dan dicetak menjadi administrateur, tidak lain untuk dijadikan kaki-tangan politik kolonialis-imperialis mereka. Karena nya, wajar kalau kemudian setelah merdeka, kursi para pengambil keputusan didominasi mereka yang berselera dan bercita-rasa “indo”. Sebab hanya merekalah yang siap. Meski mereka adalah nasionalis-nasionalis sejati dan telah berjasa bagi republik ini, namun tak bisa dipungkiri bahwa -secara tak langsung- lewat sebagian dari mereka pulalah pengkultusan terhadap “barat” mulai ditanamkan. Dan yang demikian terjadi hampir di setiap bekas negara jajahan. Dendam terhadap penjajah secara menakjubkan berubah menjadi rasa “berterimakasih”. Kemudian mulailah “barat” menjadi acuan segala nilai kebajikan. Menjadi tolok ukur kesejahteraan, demokrasi, toleransi, atau apa saja. Di dalam suasana kejiwaan semacam inilah bangsa kita tumbuh dan dibesarkan
Di awal masa kemerdekaan kita tak punya pilihan selain meneruskan target-target lama. Tentu saja kali ini di dalam semangat nasionalisme. Pendidikan diselenggarakan dalam rangka memenuhi kebutuhan sektor negara. Dan karena hampir seluruh sektor swasta hanya dikuasai keturunan Arab, Cina, dan India, mengabdi sebagai pegawai negeri seakan menjadi manifestasi semangat mengisi kemerdekaan ketika itu.
Tetapi karena belum banyak orang pintar, apalagi karena sebelumnya Belanda hanya mendirikan sekolah tinggi untuk hukum, teknik, dan kedokteran saja, jangan heran kalau ketika itu ada sarjana duduk di kementerian mengurus masalah di luar disiplin ilmu yang ia kuasai. Begitu juga di dunia pendidikan, tak sedikit yang mengajar bahkan diangkat menjadi guru besar di bidang spesialis yang mereka bukan ahlinya. Tentu ini berakibat tidak saja kepada mutu, tetapi juga kepada paradigma ilmunya.
Lahirnya jaringan kerja-sama antara perguruan tinggi nasional dengan universitas-universitas seperti Cornell University, UCLA, atau Massachusetss Institute of Technology di tahun 50-an ikut mewarnai perkembangan ilmu dan pendidikan kita. Indonesia pernah menjalin hubungan “Bapak-Anak Angkat” dengan Cornell University. Program ini secara tak langsung mempengaruhi bentuk kurikulum perguruan tinggi kita ketika itu dalam hal: apa yang harus dan apa yang tak perlu dipelajari, obyek penelitian, serta metodenya. Kalau Marshall Plan “membantu” kita supaya bisa jadi partner dagang, maka program -yang popular dengan sebutan Formington Scheme ini- “membantu” kita agar bisa jadi sparing partner berpikir. Ini merupakan pelajaran selanjutnya bagi bangsa kita tentang “Politik Ada Maunya”.
Situasi politik awal tahun 60-an merubah arah perkembangan keilmuan dan pendidikan kita ketika itu. Kerja sama dengan universitas-universitas Amerika terputus. Ilmu-ilmu sosial berparadigma sosialis mulai tampil. Buku pelajaran sejarah juga ikut disesuaikan dengan haluan politik saat itu. Menjadi orang kaya ketika itu identik dengan kapitalis. Meski telah berjasa menciptakan lapangan kerja, wiraswastawan yang sukses mudah dicurigai telah berkolaborasi dengan imperialis, atau dituduh sebagai antek-anteknya. Akhirnya tak sedikit orang menempuh “jalur partai berkuasa” sekedar demi mempertahankan hidup.
Ketika Orde Baru berkuasa, keadaan berbalik. Pulangnya para sarjana kita dari studinya di Barat menambah barisan orang pintar. Para pendekar yang baru turun gunung itu mengoleh-olehi kita ilmu dan teori-teori sosial yang lagi “ngetren”, Modernism-nya Mc Clelland misalnya. Kita juga diperkenalkan dengan macam-macam isme pembangunan. Dan kita menjadi tak lagi canggung bergaul dengan mazhab-mazhab yang dominan di Berkeley, Sorbone, atau tempat-tempat lainnya, yang sedikit banyak juga bicara pendidikan.
Meski tidak semua agennya dari bangsa kita itu langsung berselera Amerika atau Prancis, tetapi kesan keberpihakan kepada logika-logika liberalis -baik dalam teori-teori yang diajarkan di sekolah-sekolah maupun dalam praktek sosialnya yang berwujud kebijakan-kebijakan pemerintah- sangat terasa. Ditandai dengan banyaknya orang pintar memainkan peran ganda, sebagai teoritisi yang mengajar di perguruan-perguruan tinggi sekaligus sebagi teknokrat.
Keadaan ini menguntungkan pemerintah, tetapi tidak bagi perkembangan ilmu. Yang diajarkan di perguruan tinggi tak lebih dari teori-teori yang membenarkan kebijakan pemerintah. Meski demikian, ada pula baiknya, karena hal itu telah menghidupkan banyak pihak. Dan entah, apakah ini juga termasuk pelajaran tentang “Politik Ada Maunya”?
Agaknya zaman ketika itu pun berpihak untuk memenangkan isme yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Dan ini sangat sesuai dengan kepentingan negara-negara kapitalis. Modal asing masuk, MNC-MNC (Multi National Corporation) hadir, kemudian industri-industri swasta pun tumbuh. Artinya, terbuka lagi lapangan kerja baru. Tetapi ternyata ini hanya menolong sesaat dan bagi sebagian orang saja. Sebabnya jelas. Industri-industri tersebut sudah tentu tidak dimaksudkan untuk jadi “panti asuhan”. Dan memaksakan konsep Padat Karya menurut logika bisnis mereka sama saja dengan bunuh diri.
Ketika ternyata pengangguran tidak berkurang, orang masih percaya bahwa kesalahan terletak pada skill, atau mental -kata sebagian lain. Solusinya, pendidikan kewiraswastaan masuk kurikulum, fakultas-fakultas politeknik dibuka, serta BLK-BLK didirikan dan perusahaan-perusahaan swasta dihimbau untuk membuka kesempatan magang. Hasilnya? Lahirlah istilah “Tenaga Siap pakai”. Setiap orang bangga dengan status ini. Sekolah-sekolah menjadikannya tema promosi dan perusahaan-perusahaan pun berjanji membelinya.
Maka ketika industri tercanggih yang kita miliki, seperti IPTN -yang tidak semua orang Indonesia pantas direkrut kecuali putra terbaiknya saja-, ternyata harus juga mengurangi karyawannya, kita pun terperangah. Ternyata kita memiliki begitu banyak orang pintar lagi siap pakai sampai-sampai sulit menampungnya dan terpaksa tidak dipakai. Boleh jadi ada yang bertanya; kenapa surplus orang pintar dan siap pakai itu tidak dimanfaatkan untuk membuat cabang-cabang IPTN, walau sekedar untuk memproduksi layang-layang? Lantas apa artinya “Tenaga Siap pakai”? Kenapa ternyata mereka tidak siap untuk tidak dipakai? Kenapa tak kita didik saja mereka sejak awal untuk menjadi “Tenaga Siap Tak Terpakai”? Dengan kata lain, kenapa bukan istilah “Tenaga Siap Cipta” -misalnya- yang kita masyarakatkan?
Di dalam “cipta” ada makna kemandirian dan kemampuan. Sedang di dalam “pakai” ada makna ketergantungan dan ketidakberdayaan. Tergantung dan tak berdaya di dalam memilih dan menentukan, seakan tak punya pilihan, serta dipaksa untuk menerima apa yang disodorkan. Manusia menjadi tak lebih dari sekedar operator bagi sebuah teknologi, bahkan untuk sebuah ideologi. Lantas, siapa yang diuntungkan dengan istilah itu? Mudah diduga, untuk kepentingan siapa sebenarnya istilah itu dimunculkan. Tentu itu bukan sekedar bahasa teknologi, apalagi psikologi. Itu bahasa ideologi!
Akhirnya, orientasi “Lapangan Kerja Selepas Sekolah” semakin mendominasi pertimbangan memilih bidang studi. Terlihat sekali ketika industri perbankan tumbuh menjamur, sekolah-sekolah manajemen keuangan dan yang sejenisnya pun langsung surplus peminat. Gayung pun bersambut, karena “Politik Ada Maunya” semua orang pun ramai-ramai bikin sekolahnya. Mencetak orang untuk dijadikan administrateur para konglomerat. Kalau kemudian para alumninya berwiraswasta di bidang lain, itu terpaksa, karena ternyata penawaran lebih besar dari permintaan. Herannya, kita tak pernah berhenti percaya kepada janji-janji yang telah berulang kali memperdayakan, tak pernah berhenti berharap kepada teori-teori yang telah berulang kali mengecewakan.
Jelas ini masalah ideologi, jika pola-pola kebijakan pendidikan sepanjang sejarah ternyata tak pernah bersih dari “Politik Ada Maunya”. Selalu saja ada “vested interest”. Selalu saja berbau eksploitasi dari yang kuat terhadap yang lemah,yang kaya terhadap yang miskin, yang pintar terhadap yang bodoh, dan yang merdeka terhadap yang tak punya pilihan.
Akhirnya kita dipaksa mengerti mengapa misalnya, sekolah melarang murid membeli buku kecuali yang telah disediakan. Mengapa guru-guru ikut mengatur pengadaan seragam murid. Mengapa di kota besar murid diperebutkan sementara di desa mereka yang wajib belajar sulit menemukan sekolah.
Lebih dari itu, “Politik Ada Maunya” menimbulkan dampak psikologis sekaligus sosiologis bagi kita. Budaya curiga dan buruk sangka merupakan dampak psikologisnya. Kita curiga kalau ada siswa akrab dengan dosennya, curiga kalau mendengar ada rencana perubahan kurikulum. Kita menjadi tak percaya pada keluhuran budi serta cenderung mencemoohkan sebagian orang -yang masih tulus- dengan tuduhan dan anggapan-anggapan yang menghinakan. Dampak sosiologisnya, lahirnya berbagai bentuk kolusi dan nepotisme di dalam sistim sosial kita. Mekanisme pertahanan diri -untuk bertahan hidup- pun memaksa kita beradaptasi dengan situasi ini. Symbiosis mutualistis!!! Semua berusaha mengambil keuntungan di dalam posisinya sebagai apa pun atau siapa pun. Tak perlu ada yang merasa dirugikan atau ditipu. Yang ada hanya kepura-puraan. Pura-pura mengerti sekaligus pura-pura tidak mengerti!!!
Nah, kritik ideologi - yang saya maksudkan di atas- itu bukan mempertanyakan ideologi dalam artian normatif. Dan jawabannya bukan pada deklarasi-deklarasi resmi, motto, atau retorika pejabat pemerintah. Tetapi di dalam rangkaian fakta; pengangguran terpelajar, ijazah AsPal, orientasi lapangan kerja selepas sekolah, minimnya guru dan sekolah di pedesaan (-sedangkan di perkotaan murid diperebutkan, sekolah mewah bertebaran, dan guru bejibun-), lembaga pendidikan bermasalah, komersialisasi, bentuk ketergantungan yang semakin kuat justru setelah melalui proses pendidikan, serta konsep-konsep -obyektif, ilmiah, netral atau rasional, bahkan indikator kesejahteraan, kemajuan, dan keterbelakangan- yang melulu mengacu pada tolak ukur Barat.
Kita tidak pernah membuang keyakinan “pendidikan merupakan proses moderenisasi, segala yang tidak sejalan dengan moderenisasi bukanlah pendidikan”. Itulah soalnya, itulah akar masalahnya. Ini andil sejarah!!! Kemudian pendidikan menjadi “gengsi”, karena menyandang sekaligus menghasilkan atribut-atribut moderenisme. Karenanya, tenaga, uang, dan waktu harus dikerahkan ke sana. Otomatis pendidikan menjadi komoditi. Sehingga kebijakan apapun yang ditempuh, “Politik Ada Maunya” pasti ikut berpartisipasi. Meletakkan akar masalah ini selalu dalam posisi di luar pembicaraan -sebagaimana yang terjadi selama ini- justru memperkuat dugaan bahwa itulah ideologi pendidikan yang kita anut selama ini. Atau, mungkin ada yang masih mau coba-coba mengatakan: ini bukan masalah ideologi?
Selengkapnya...